085277799175

info@gampongcotbaroh.desa.id

Permohonan Online

Anda dapat mengajukan secara permohonan online

Produk Warga

Jelajahi produk lokal buatan dari para warga kami untuk Anda

Lapor/Aduan/Saran

Anda dapat melaporkan aduan dan memberi saran maupun kritik

Ketidakpastian Menyelimuti Nasib Keuchik di Aceh Pasca Revisi UU Desa

GAMPONGCOTBAROH.DESA.ID, Jakarta – 28 Maret 2024 – Parlemen Indonesia baru saja mengesahkan revisi kedua terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengubah secara signifikan masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun dengan kemungkinan dua periode kepemimpinan. Meskipun perubahan ini diterima baik di banyak daerah di Indonesia, situasi di Aceh menunjukkan kompleksitas yang berbeda.

Aceh, dikenal dengan kekhususan aturannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), masih menetapkan masa jabatan kepala desa, atau keuchik, selama enam tahun, dengan maksimum dua periode kepemimpinan, sesuai dengan Pasal 115 ayat (3) UUPA. Perbedaan ini menciptakan dualisme hukum dan memunculkan pertanyaan tentang implementasi revisi UU Desa di provinsi tersebut.

Proses pemilihan keuchik di Aceh, yang berlandaskan pada UUPA dan Qanun Aceh, berbeda dari proses pemilihan kepala desa di provinsi lain yang mengacu pada UU Desa. Ini memperlihatkan perbedaan signifikan dalam tata kelola pemerintahan desa di Indonesia.

Namun, ada secercah harapan bagi para keuchik di Aceh untuk bisa menikmati masa jabatan delapan tahun seperti rekan-rekan mereka di provinsi lain. Harapan ini bergantung pada revisi UUPA, yang telah masuk ke dalam agenda legislasi nasional sejak 29 Maret 2024.

Pertarungan untuk Kesetaraan Masa Jabatan Keuchik di Revisi UUPA

Muksalmina, Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Aceh, menyuarakan kebutuhan mendesak untuk menyelaraskan ketentuan mengenai masa jabatan keuchik dengan revisi UU Desa. Menurutnya, ketidaksesuaian antara UU Desa dan UUPA menyebabkan kebingungan dan distorsi dalam masyarakat Aceh.

Muksalmina menekankan pentingnya mengadopsi pendekatan yang menghargai kearifan lokal dalam tata kelola pemerintahan desa di Aceh, namun juga mengakui kebutuhan untuk menyelaraskan aturan lokal dengan kebijakan nasional. “Kita berada di momen kritis untuk menyatukan dua kebijakan yang berbeda ini,” katanya dari Banda Aceh.

Ketidakjelasan aturan dan dualisme hukum menjadi tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintahan gampong di Aceh. Muksalmina berharap revisi UUPA dapat membawa solusi konkret, dengan menyesuaikan ketentuan yang berkaitan dengan pemerintahan desa agar tidak lagi beroperasi dalam kerangka yang ambigu.

Meski revisi UU Desa telah disahkan, APDESI Aceh siap untuk memastikan bahwa perubahan yang diperlukan di UUPA akan tercapai, mengawal proses revisi ini dengan ketat. “Kami akan terus berjuang untuk kejelasan dan keseragaman aturan, memastikan bahwa pemerintahan desa di Aceh dapat beroperasi dengan efektif dan efisien,” tegas Muksalmina.

Dengan revisi UUPA masih dalam proses, masa depan tata kelola pemerintahan desa di Aceh berada pada titik kritis, menunggu keputusan yang akan menentukan apakah mereka dapat menikmati kebijakan masa jabatan yang sama dengan daerah lain di Indonesia.

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca artikel lainnya